Sunday, October 30, 2011

ribetnya bikin buku masak bagian 1.

Ceritanya nie buat yang berniat bikin buku masak...
Apa ajah step-stepnya...
karena panjang hingga ke penentuan harga, maka enaknya dibagi 2 bagian ajah biar gak pusing bacanya.

Mula-mula bikin menu, apa ajah yang akan kita tampilkan di buku kita.
Bikin resepnya untuk berapa porsi, print dan pegangan untuk belanja dan masak.
Beli perlengkapan utensils yang akan kita pake.
Belanja bahan dan jangan lupa beli aksesori hidangan.
Masak hidangannya, syukur bisa ngerjain semua sendiri, jadi ngiritan...
Catat banyaknya pemakaian bahan, jangan kebanyakan kira-kira , bagus lagi kalau garam segala hitungannya tepat. Dan itu jelas susah, dan perlu kecermatan luar biasa.
Setelah masakan matang, pemotretan makanan dimulai, tergantung ama fotografernya dan food stylishnya.
Pertama harus punya fotografer yang sehati, satu selera, kalau engga, kita bisa tekanan bathin karena apa yang mau ditampilkan kita belum tentu sesuai dengan apa yang tampil dalam foto nantinya.
Food Stylish : juga harus yang bisa masak, soale kalau engga, bisa gak kliatan bagus makanan kita kebanyakan aksesori, suggestion angle terhadap si fotografer juga gak jelas.
Jelasnya food stylish ama fotografer juga harus kompak dan kompak dengan penulisnya tentunya.
Fee fotografer dan Food stylish bisa dibicarakan, mulai dari harga temen hingga harga pro, yang besarannya bisa bikin nga nga.
Kalau mau ngirit seh, dan kebetulan punya gadgetnya, camera yang mayan bagus, juga punya lensa yang bagus, kayak 50 mm 1.4 dan lensa lainnya, lalu ada tripod, bisa moto sendiri, toch makanan itu bukan benda bergerak jadi biasanya dari buku manual dan googling bisa kok kita bikin foto yang cantik.
Yang crusial seh food stylish, terutama kayak aku yang gak terlalu berseni, seninya jenis beneran kaku, jadi harus punya food stylish, yang bener-bener bisa memanfaat utensils yang ada. Soale pustaka utensils saya banyak, aneka ragam dan berbagai ukuran.

Setelah foto-foto jadi, biasanya si fotografer kasih lihat hasilnya, kadang sesuai, kadang ada yang gak sreg dihati.. kalau mau diulang berarti kita ulang blanja , masak, dan tata ulang, kalau engga diganti , juga bikin gatel mata lihat fotonya.
Jangan lupa minta si fotografer memberikan file foto setiap makanan minimal 5 angle, bahkan 10 angle kalau bisa apalagi kalau udah bayar mahal...ini penting banget.. soale kalau ada yang gak cocok bisa dipilih dari foto makanan angle lainnya.. bisa dicrop mana yang bagus mana yang jelek dibuang oleh si editornya, jangan hanya satu atau dua saja.. bener-bener kurang tuh.
Kita gak punya ruang gerak jadinya.

Beres urusan fotografer baru ke editor, layout dan cover.
Bagusnya ketemu antara si editor ini dengan fotografer dan penulis buku, membicarakan , mana foto covernya bagus, mana foto foto yang dipakai, dll....selain resep-resepnya tentunya.

Jangan lupa juga penulis harus menuliskan kata pengantar, sampul belakang dan juga biografi, juga daftar isi.
Sisanya ntar diurus sama editor , tata letak dll...
Tapiiiii..... berhubung si editor itu juga manusia, kita juga harus tetep ngecek setelah dari editor, dan bagusnya di print dulu baru dicek, percaya deh bakalan banyaaaaaaak sekali salahnya.
Bisa beberapa kali pp antara penulis dan editor pada saat ngedit, dan bagusnya 2 minggu deh buat urusan ini, diharapkan jadinya perfect hampir nyaris sempurna, gak ada kata2 yang terlewat hurufnya dan salah ketik.
Nha editor itu sendiri ada yang all in, maksudnya harga sekian udah termasuk cover dan layout, ada yang masing2 editor minta sekian ribu perhalaman, lalu layout sekian ribu juga perhalaman, dan cover.
Kalay kita dah tau pasarannya berapa sebetulnya enakan borongan, jatuhnya lebih ekonomis.

Beres dari editor, baru ke percetakan dan penerbit, kita tanya apakah mereka mau sponsori buku kita ? kalau mau untunglah kita karena biaya cetak kita gak modalin sendiri.
Kalau engga ya kita kudu bayar sendiri duluan biaya cetak, baru dititip di  penerbit yang biasanya jualan online..
Yang sebelnya tuh kalau kita cetak 300 buku dengan cetak 3000 buku akan sama harganya.
Kenapa ? kayaknya biaya overhead costnya sama, dan produksi maximal ya segitu. Hanya bingung kan kalau harus cetak 3000 itu mau ditaruh dimana ? Juga cetakan kedua akan lebih murah meski gak banyak tapi harga gak bakalan sama karena dianggap file offsetnya dah ada, gak perlu buat lagi.

Cari penerbit yang punya rekanan percetakan itu lebih murah, kalau mau murah lagi cari sendiri percetakannya lalu hasile bawa ke penerbit. Biasanya penerbit yang akan mempromokan buku kita lewat online, direct selling atau juga ke distirbutor dan toko buku, kita tau beres. Biasanya feenya penerbit 15 %, dan kalau ke toko buku kita akan taruh tuh buku, ada jalannya sendiri, harus ke distributor, bisa lewat penerbit juga bisa kita bawa sendiri ke distributor yang kita kenal.
Kalau kita bawa langsung ke distributor, feenya hanya 40% dari harga jual karena dikurangi feenya penerbit. *pengsan kan ? *


(bersambung)


No comments:

Post a Comment

Assalammualaykum...